Untuk dapat mengerti masalah tersebut, penjelasan tentang sistem yang dianut dalam K.U.H. Perdata, yang membedakan antara perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan, mungkin dapat membantu memberikan gambaran tentang hal itu. Bab Il Buku Ill’ K.U.H.Perdata berjudul “tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan dari kontrak atau perjanjian” dan dimulai dengan ps. 1313 yang mengatakan: “setiap persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari perumusan tersebut orang menyimpulkan, bahwa perjanjian yang diatur dalam buku III K.U.H. Perdata adalah perjanjian-perjanjian yang menimbulkan perikatan, di mana ada pihak (atau para pihak) yang berkewajiban untuk memberikan suatu prestatie tertentu. Perjanjian-perjanjian seperti itu dinamakan perjanjian obligatoir. Dengan demikian perjanjian-perjanjian yang disebutkan dalam buku IlI pada prinsipnya baru menimbulkan kewajiban, kewajiban berprestasi, sedang penyerahan prestasinya sendiri mungkin baru menyusul kemudian. Perjanjian itu sendiri (perjanjian obligatoirnya) mungkin sudah ada/lahir, walaupun prestasinya belum diberikan. Untuk jelasnya kita ambil contoh perjanjian jual beli sebagai yang diatur dalam pasal 1457 K..H. Perdata, yang merupakan perjanjian yang paling banyak muncul dalam praktek. Pasal 1457 mengatakan: “jual beli adalah persetujuan, dengan mana
pihak yang satu mengikatkan diri untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Perumusan tersebut dengan jelas menyebutkan, bahwa perjanjian jual-beli mengakibatkan (membawa akibat hukum), bahwa si penjual berkewajiban untuk menyerahkan benda objek jual beli dan pembeli berkewajiban untuk membayar jadi untuk menyerahkan uang pembayarannya. Dari sana dapat disimpulkan, bahwa jual beli saja belum menjadikan pembeli menjadi pemilik dari barang yang dibelinya dan penjual atas uang harga barang yang dijualnya. Yang timbul dari perjanjian tersebut seperti pada perjanjian-perjanjian lain menurut buku III kecuali yang berbentuk perjanjian riel, baru kewajiban untuk menyerahkan objek perjanjian. ]tulah sebabnya orang menyebut perjanjian-perjanjian seperti itu “perjanjian obligatoir”. Perjanjiannya sudah sah kalau telah dipenuhi syarat-syarat untuk sahnya perjanjian (ps. 1320 K.U.H.Perdata), walaupun objeknya belum diserahkan. Hal itu pada perjanjian jual beli dinyatakan dengan tegas dalam ps. 1320 K.U.H.Perdata), walaupun objeknya belum diserahkan. Hal itu pada perjanjian jual beli dinyatakan dengan tegas dalam ps. 1458 K.U.H.Perdata, di mana dikatakan, bahwa perjanjian jual bel dianggap telah terjadi seketika telah tercapainya sepakat antara para pihak tentang benda dan harganya, meskipun benda itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”.